Rabies Bali

________________________________
9 Februari 2009

Strategi Percepatan Penanggulangan Rabies di Bali

Luh De Suriyani

Penanggulangan rabies di Bali dinilai belum optimal karena ancaman wabah makin meningkat. Kasus gigitan anjing terus bertambah sementara vaksinasi massal berjalan lamban untuk memenuhi target.

Hal ini diulas secara mendalam oleh para pakar dan pengambil kebijakan dalam Diskusi Ilmiah Percepatan penanggulangan rabies di Bali, Selasa. Diskusi ini dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, bertempat di Aula Gedung Pasca Sarjana Unud, Denpasar.

Sejumlah kendala penanggulangan rabies di Bali di antaranya vaksinasi massal kurang memberikan hasil optimal karena informasi tidak sampai masyarakat dan rendahnya cakupan vaksinasi.

Kepala Sub Bagian Dinas Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Bali Ni Wayan Sukanadi menguraikan, cakupan vaksinasi massal secara intens di lokasi wabah Kabupaten Badung pada Desember-Januari ini hanya 35% yakni 16.776 ekor.

Sementara di Denpasar cakupannya kurang dari 40% yakni 19 ribu ekor.

Diperkirakan jumlah anjing di Bali sebanyak 540 ribu ekor atau 96 ekor per km2. Data ini berdasarkan rasio populasi anjing yang dihimpun Yayasan Yudisthira Swarga.

Eliminasi anjing liar masih sulit karena hambatan geografis dan ada protes dari pegiat kesejahteraan hewan. “Satu hari kemampuannya cuma 20-30 ekor per hari,” kata doktor drh. IGN Mahardika, juru bicara tim ahli penanggulangan rabies Bali yang memaparkan tinjauan kritis wabah rabies di Bali.

Selain itu penggunaan vaksin rabies yang dibooster (vaksin kedua) setelah tiga bulan sangat melelahkan karena sulit menemukan anjing yang telah divaksin sebelumnya.

Tidak semua strategi penanggulangan yang ditetapkan berjalan. Misalnya mekanisme pengendalian rabies melalui penutupan wilayah dan pengawasan check points seperti pelabuhan darat, laut, dan udara belum berjalan karena masih ada kasus penyelundupan.

Juga ketidaksiagaan perawatan gigitan anjing hanya dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR) tanpa pemberian serum anti rabies (SAR) atau rabies immunoglobulin (RIG) pada kasus gigitan anjing berisiko tinggi seperti luka dalam dan lokasi gigitan dari lengan ke atas. Pemberian SAR dan VAR adalah standar baku internasional.

Sanksi atau tanggung jawab moral pada pemilik anjing yang menggigit orang belum nampak. Sehingga masyarakat merasa tidak terlibat dalam pencegahan rabies.

Core team diharapkan jangan birokratis tapi bekerja teknis. Tim penanggulangan rabis desa. “Desa adalah simpul saraf yang bekerja melakukan identifikasi pada hewan pembawa rabies dan pencegahan,” ujar Mahardika.

IGN Badiwangsa, Ketua Ikatan Dokter Hewan Cabang Bali meminta vaksinasi anjing di seluruh Bali. Tapi hal ini menurut tim sangat sulit dilakukan karena keterbatasan dana dan teknis pemberian VAR pada puluhan ribu anjing yang sebagian besar diliarkan.

Sedangkan juru bicara Bali Rabies Forum, drh Wita Wahyu menilai desa tanggap rabies sangat penting namun perlu skill. “Warga perlu trainning menangkap anjing secara humane untuk divaksin. Kami sanggup memberikan trainning”.

Wita meminta semua pihak mendapat travel warning karena wabah rabies. “Saatnya mencoba vaksin lain yang umurnya lebih panjang, karena sulit menangkap kembali anjing jalanan Bali untuk booster.”

Diskusi juga diwarnai tarik menarik antara kepentingan pariwisata karena behubungan dengan rasa aman dan image Bali.

Balai Besar Veteriner (BBV) Bali saat ini sedang melakukan penelusuran masuknya virus rabies ke Bali. Diduga disebarkan oleh wondering dog. Dicurigai sumbernya dari wilayah endemik rabies di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores.

Pendekatan molukuler akan dapat mengetahui jenis virus rabies di Bali.

Sementara itu dokter Ketut Subrata, Kepala Bagian Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Bali mengatakan telah berkoordinasi pada seluruh petugas medis rumah sakit dan Puskesmas di Bali untuk mewaspadai risiko penularan rabies antar manusia. Paparan virus ini bisa terjadi lewat kontak langsung melalui cairan air liur atau luka terbuka yang menjadi sumber virus.

“Sudah ada kasus penularan rabies antara pasien dan petugas medis di Indonesia. Jadi harus waspada, dan yang terpapar langsung harus segera mendapat vaksin,” ujar Subrata.

Ia meminta warga yang digigit anjing sejak Mei 2008 harus mendapat VAR. Subrata mengatakan angka gigitan anjing meningkat hingga Januari ini.

Di RS Sanglah saja, yang menjadi rabies center, tiap hari melayani vaksinasi sekitar 50 warga. Hingga kemarin, 534 orang minta vaksin ke RS Sanglah. Terbanyak warga Denpasar, disusul warga dari kabupaten lain di Bali.

_______________________________________

12 Oktober 2009

Peraturan Adat Melawan Rabies

.
Foto dan teks Luh De Suriyani

Warga Desa Adat Ngis, Kecamatan Penebel, Tabanan merasa lebih aman karena telah menyepakati sejumlah peraturan adat (peraraem) mengenai penanggulangan rabies di lingkungannya.

Ada enam butir kesepakatan tertulis itu yang berlaku sejak 26 Agustus lalu. Pertama, seluruh komponen masyarakat berperan aktif dalam mencegah penularan rabies, melakukan eliminasi anjing liar yang tidak dipelihara, bertanggung jawab pada anjing peliharaan di rumah, dan bersedia menanggung biaya dari kerugian yang muncul jika anjing peliharaan mengigit orang lain.

Selanjutnya warga juga dilarang membawa anjing dari luar desa dalam kondisi wabah serta memantau warga yang tergigit anjing bekerja sama dengan puskesmas setempat.

“Perarem ini disepakati bulat masyarakat setelah ditemukan sampel anjing disini positif rabies,” ujar I Wayan Tamba, salah satu tokoh masyarakat Desa Adat Ngis, Kamis.

Ia menceritakan pada 9-19 Agustus, sedikitnya 13 orang warga digigit anjing. Warga mulai gelisah karena belum pernah menemukan kasus satu anjing mengigit lebih dari tiga orang sekaligus.

Ketika itu, pemerintah belum mempublikasikan ancaman rabies di Tabanan. Lalu pada 25 Agustus Dinas Peternakan setempat mengkonfirmasi sampel anjing dari Ngis positif rabies. Pada hari ini pula Dinas Kesehatan setempat baru mempublikasikan korban meninggal pertama karena rabies di Tabanan, yakni I Nyoman Diadnya, dari Desa Subamia.

Warga diminta mempertimbangkan apakah siap anjingnya dieliminasi. “Kami minta ijin dari Tuhan dengan berdoa bersama,” ujar Tamba.

Saat ini, Tamba mengatakan warga Ngis waspada lebih memperhatikan anjing peliharaannya dengan mengikat di rumah, tak lagi meliarkan. Desa setempat menghitung ada 107 ekor anjing di Ngis. Sebagian besar telah dieliminasi karena diliarkan, dan kini hanya tersisa 15 ekor anjing yang telah divaksinasi.

“Sementara warga yang tergigit sudah sehat. Mereka sudah mendapat vaksin anti rabies di Rumah Sakit Sanglah Denpasar,” ujar Tamba yang kini menjadi anggota DPRD Tabanan terpilih.

Rabies memang menjadi hantu di pelosok desa Tabanan. Wilayah lumbung beras padi yang tenang ini mulai memperhatikan anjing-anjing sekitar rumah.

Prosedur eliminasi juga bukah hal yang mudah. “Kami menghormati anjing sebagai mahluk hidup dan teman manusia,” ujar I Made Kertayasa, Perbekel Desa Petiga, Kecamatan Marga, Tabanan.

Beberapa hari sebelum proses eliminasi, warga Petiga mengadakan pakeling atau upacara persembahyangan minta petunjuk pada Tuhan. “Warga dan pengurus desa sembahyang dan menghaturkan sesaji ke Pura Dalem dan Prajapati, sebagai penguasa alam lingkungan,” jelas Kertayasa.

Warga meyakini yang berhak menentukan kematian mahluk hidup adalah Tuhan, demikian juga untuk anjing. “Selain minta ijin pemilik anjing juga pada Tuhan sebagai pemralina (pelebur) kehidupan,” tambahnya.

Proses eliminasi di Desa Petiga telah dimulai awal pekan ini. Eliminasi dilakukan pada anjing yang tak dipelihara atau liar. Selain itu pemberian vaksin juga diberikan pada semua anjing yang akan dipelihara.

Seperti terlihat pada Selasa lalu, proses vaksinasi pada anjing dilakukan di banjar. Bahkan vaksinasi dilakukan ketika warga tengah sibuk mempersiapkan upacara agama di pura dalam arela banjar setempat.

Sejumlah warga menggendong atau membawa anjingnya saat mengenakan pakaian adat dan membawa sesaji. “Saya ingin anjing sehat seperti saya,” ujar Nang Weli, laki-laki 65 tahun.

Kertayasa yang juga dokter hewan ini mengharap pemerintah bekerja cepat memberikan pemahaman pencegahan pertama pada gigitan anjing. Misalnya dengan mencuci luka dengan sabun di atas air mengalir.

“Kalau sudah ada korban tewas, warga cenderung kalap dan membunuh anjing sembarangan. Padahal rabies bisa ditanggulangi,” kata Kertayasa.