Sabtu, 22 Mei 2010

Bali Harus Menang Melawan Rabies

BALI POST, 10 Januari 2009

Oleh IG Ngurah K Mahardika

Jika tidak segera diberantas, dampak penyakit anjing gila (rabies) dapat luar biasa. Hilangnya nyawa orang, rasa aman, dan pendapatan (livelihood) akibat penurunan jumlah wisatawan adalah harga sosial yang mahal jika penyakit itu meraja-lela. Anjing gila (rabies) adalah penyakit virus yang menyerang dan merusak otak semua jenis hewan berdarah panas, kecuali bangsa burung. Manusia juga rentan rabies. Pembawa virus rabies yang paling utama adalah anjing, dan 99 persen rabies pada manusia di dunia berasal dari virus hewan yang disebut-sebut sebagai sahabat terbaik manusia itu (man best friend).

Sejak awal Desember 2008, Bali dinyatakan tertular rabies. Provinsi kecil ini sejak lama salah satu dari sedikit daerah bebas rabies di Indonesia. Perisai laut dan segala peraturan penahan rabies tampaknya rapuh. Walau data resmi pemasukan anjing dari luar tidak ada sama sekali, anjing ras yang dulu dilarang, kini jumlahnya sangat banyak.

Anjing ras merupakan tersangka utama pembawa rabies ke Bali. Hewan pembawa lain yaitu kucing dan monyet, namun hal itu relatif kecil peluangnya. Di samping untuk diperdagangkan, pemasukan anjing pembawa rabies dapat juga bersama nelayan. Anjing sering dianggap sebagai penolak dan pendeteksi bencana laut, sehingga sering dibawa mencari ikan.

Asal rabies yang mewabah di Bali kemungkinan besar dari daerah lain di Indonesia. Bali dikelilingi oleh wilayah endemik rabies, Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Sumber luar negeri juga mungkin, walaupun relatif lebih kecil. Seperti diketahui, banyak wisatawan yang datang ke Bali bersama anjing kesayangannya. Setelah tiba di sini, apakah semuanya anjing itu dibawa kembali pulang, atau bahkan ditingggal, datanya tidak ada.

Tujuan orang membawa anjing ke Bali dapat saja selain komoditi perdagangan, konsumsi, terutama untuk warga Bali yang berasal dari daerah lain yang gemar daging anjing, penolak bala bagi nelayan, atau hanya teman kesayangan wisatawan. Namun, tujuan persaingan bisnis dan menimbulkan rasa takut pun tidak dapat diabaikan. Karena, rabies dapat dijadikan senjata untuk menghilangkan rasa aman penduduk, lebih-lebih wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik. Jika tergigit anjing rabies dan tidak ditangani segera, orang selalu meninggal karenanya.

Apa pun tujuannya tidak mendesak diketahui. Asal virus juga bukan prioritas utama. Pengamanan jiwa, rasa aman dan menjaga atau mengamankan pendapatan penduduk yang bersumber dari pariwisata beserta produk ikutannya adalah segalanya.

Rabies Terminator

Berbeda dengan penyakit lain, misalnya flu burung, rabies merupakan penyakit yang 100 persen dapat dicegah. Syarat utamanya adalah tidak ada anjing yang berkeliaran dan semua anjing divaksinasi. Namun, yang disebut pertama itu sangat sulit, mengingat masyarakat Bali pada umumnya sangat dekat dengan 'teman berkaki empat itu'. Secara tradisional, anjing-anjing dipelihara secara setengah liar, diberi makan seadanya dan dilepas. Pada saat tertentu, anjingnya dibiarkan berkelana dan pergi ke mana mereka suka serta bertemu sesamanya.

Hanya sebagian kecil anjing yang dipelihara tertutup di rumah atau dirantai. Yang lain bahkan tidak ada pemiliknya sama sekali. Mereka tidur di pasar, pantai dan semak-semak.

Perbandingan jumlah anjing dan penduduk di Bali adalah rata 1 : 6,5. Dengan jumlah penduduk 3,5 juta, anjing yang ada di Bali sekitar 500 - 600 ribu ekor. Dengan bio-ekologi seperti itu, masyarakat desa harus mengambil peran utama dalam penanggulangan rabies. Kemampuan pemerintah dan relawan pasti tidak cukup.

Prosedur baku pemberantasan rabies adalah penutupan wilayah, pengawasan lalu lintas hewan pembawa rabies, pengetahuan dan tingkah laku seluruh penduduk, vaksinasi, dan eliminasi anjing pembawa rabies.

Dua prosedur pertama merupakan wewenang pemerintah. Sedangkan desa dapat mendukung dengan pendataan dan pengawasan penduduk desa yang memiliki dan membawa hewan pembawa rabies, yaitu anjing, kucing dan monyet, keluar dan masuk wilayah tertular. Ini terutama untuk desa-desa di daerah terancam, yaitu yang berbatasan langsung dengan desa-desa tertular.

Untuk peningkatan pengetahuan dan perubahan tingkah laku anjing, aparat desa dapat mengatur dan memastikan bahwa semua penduduk paham tentang rabies dan cara pencegahannya, serta bagaimana penanganan penduduk yang tergigit anjing tersangka rabies. Jika diperlukan, penyuluh-penyuluh yang ada di Dinas Peternakan dan Dinas Kesehatan, serta di Universitas Udayana, dapat diundang untuk memberikan ceramah tentang hal itu. Bahkan, penyuluhan dapat diperoleh di Posko Rabies di Dinas Peternakan Bali.

Intinya publik mengenali anjing-anjing yang tersangka rabies dan mengetahui pertolongan pertama pada gigitan. Tingkah laku yang diharapkan adalah menghindari anjing seperti itu, melaporkan jika ada, memberikan pertolongan pertama jika ada yang tergigit, membawa korban gigitan ke puskesmas untuk memperoleh vaksinasi anti rabies (VAR), membawa anjing ke pos-pos vaksinasi, merumahkan dan merantai anjing kesayangan, serta memfasilitasi penertiban anjing liar yang tak bertuan.

Untuk memenangkan perang melawan rabies, vaksinasi dan penertiban anjing liar harus dilakukan secara massal dan serentak. Vaksin akan membuat anjing peliharaan aman rabies dan pemilik terhindar risiko tertular dari anjingnya sendiri. Jika anjing yang divaksin digigit oleh anjing pembawa rabies, anjing Anda akan tetap sehat. Rantai penyebaran rabies terputus.

Penertiban anjing liar dan anjing yang kontak dengan pembawa rabies harus dilakukan. Dasar ilmiahnya kuat dan sederhana. Jika ada anjing yang positif rabies, ia mungkin telah sempat menggigit puluhan anjing yang lain yang kontak dengannya. Masing-masing anjing yang tergigit itu dapat menggigit puluhan anjing yang lain lagi. Demikian seterusnya, sehingga sebagian besar anjing liar atau yang diliarkan di desa tertular kemungkinan telah membawa virus. Letupan kasus gigitan yang dasyat tinggal menunggu waktu.

Untuk daerah bebas, penertiban anjing liar juga harus dilakukan. Ini untuk antisipasi penyebaran rabies dari daerah tertular. Anjing asing yang tiba-tiba ada di sekitar kita harus dicurigai sebagai anjing rabies. Ia mungkin merupakan limpahan (spill-over) dari daerah tertular yang dapat berkelana jauh. Jika populasi anjing liar sudah sehat, rantai penyebaran rabies putus.

Usulan kongkret adalah pembentukan tim khusus pemberantas rabies di desa-desa di Bali. Anggota tim dilatih untuk menangkap anjing dan bekerja dengan pengawasan dinas peternakan dan dokter hewan. Tugasnya adalah koordinasi dan mendukung pelaksanaan sosialisasi rabies, vaksinasi, dan penertiban anjing liar. Tindakan-tindakan medis, seperti vaksinasi dan pembiusan anjing liar, harus dilakukan oleh dokter hewan. Dengan demikian, pemberantasan rabies dapat dipertanggungjawabkan.

Penulis, Ahli Virologi, staf dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, dan anggota Pakar Tim Teknis Penanggulangan Rabies Kabupaten Badung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar