Sabtu, 22 Mei 2010

Pemerintah dan masyarakat Bali harus lebih serius memberantas rabies!

BALI POST, 26 September 2009

Oleh: I G Ngurah K Mahardika

Ancaman penyakit rabies atau anjing gila semakin serius di Bali. Korban jiwa kian bertambah. Jika tidak segera diberantas, dampaknya akan semakin besar. Mobilisasi tenaga dan dana perlu segera dilakukan. Komitmen pemerintah adalah gerbang keberhasilan pemberantasan rabies. Sedangkan pengetahuan, partisipasi, dan perilaku masyarakat adalah kuncinya.

Penyakit rabies kian meluas di Bali. Kasus anjing positif dan kematian manusia telah diberitakan di Tabanan, beberapa waktu lalu di Harian Bali Post. Pemerintah dan masyarakat Bali telah lalai. Rabies tidak ditangani dengan sungguh-sungguh di daerah Semenanjung Bukit, Badung. Rabies pada anjing dan orang dilaporkan pertama dari sana. Dari sejak letupan awal pada November 2008 sampai pertengahan 2009, virus itu terlokalisir di sana. Rembesan kecil memang pernah terjadi di Kuta dan Denpasar. Tetapi itu diduga kuat karena anjing pengelana dari daerah wabah.

Setengah tahun kita telah diberikan waktu untuk memadamkan ‘api’ rabies di sana. Letupan kasus di Tabanan wajar saja terjadi. Itu tak bisa dicegah. Penanganan di daerah wabah pertama jauh dari optimum.

Pasti fatal

Seperti pada opini penulis di Bali Post Januari 2009, rabies adalah penyakit virus yang menyerang dan merusak otak semua jenis hewan berdarah panas, kecuali bangsa burung. Manusia juga rentan rabies. Penyakit ini selalu fatal, hewan dan orang yang menunjukkan gejala pasti mati.

Pembawa virus rabies yang paling utama adalah anjing. 99% rabies pada manusia di dunia ditularkan  oleh hewan kesayangan itu. Hewan lain, kucing, kera, dan kelelawar juga bisa, tapi lebih jarang. Penularan dari orang ke orang juga kecil peluangnya. Ini bisa terjadi jika air liur penderita mengenai mata, hidung, mulut, atau kulit orang sehat yang luka.

Walau mematikan, rabies dapat dicegah pada orang yang tergigit. Asalkan luka penderita segera dibersihkan dengan sabun dan air mengalir yang banyak dan cukup lama, kemudian diberikan Vaksin Anti Rabies (VAR) yang lengkap, yang bersangkutan berpeluang selamat. Peluangnya diatas 90%. Artinya 9 dari 10 orang  tergigit akan aman dari rabies. Peluang itu akan mendekati 100% jika diberikan serum anti rabies (SAR) pada saat yang sama.

Prosedur baku pemberantasan rabies adalah penutupan wilayah, pengawasan lalu lintas hewan pembawa rabies, pelacakan kasus (surveilans), peningkatan pengetahuan dan tingkah laku seluruh penduduk, serta vaksinasi dan eliminasi anjing pembawa rabies.

Letupan kasus baru di Tabanan kemungkinan besar dari wabah pertama di Badung Selatan. Kemungkinan dibawa dari sumber lain dapat saja terjadi. Virus itu bisa dibawa oleh anjing penderita ‘pengelana’. Anjing rabies akan berjalan berkilo-kilo meter dan tak ingat kembali. Diperjalanan, ia dapat menggigit anjing lain, sebelum akhirnya mati. Anjing yang digigit ini kemudian menjadi mata rantai berikut sehingga sampai di Tabanan. Selain ‘jalur’ itu, anjing penderita dapat dibawa dari daerah tertular untuk dipelihara atau dipotong. Kemungkinan terakhir bisa saja terjadi. Usaha restoran daging anjing, dikenal dengan ‘RW’, cukup banyak ada di Bali, meskipun untuk kalangan tertentu saja.

Jika asumsi asal virus dari Badung Selatan yang kita pakai, letupan baru di Tabanan dapat dipastikan karena prosedur baku pemberantasan rabies di Badung Selatan tidak dijalankan dengan tepat. Sepanjang  keterlibatan penulis dalam penanganan rabies di Badung dan Denpasar, beberapa kendala dalam penanganan rabies antara lain penutupan wilayah tidak terjadi sama sekali. ‘Stand still order’, yaitu perintah untuk tidak membawa anjing, kucing, dank era, tidak pernah diperintahkan dengan tegas. Pengawasan lalu lintas hewan tidak dijalankan sama sekali. Check point belum ada.

Disamping itu, pelacakan kasus dilakukan secara sporadik. Jika virus yang dikonfirmasi di Tabanan itu dibawa oleh anjing ‘pengelana’, kasus di sepanjang jalan menuju desa itu harusnya terjadi. Pertanyaannya apakah ‘didiamkan’ dan tak dilakukan apa-apa?

Virus rabies pada hewan juga belum dipelajari. Kajian pada virus dari dua orang penderita menghasilkan bahwa virus itu berkerabat dekat dengan virus asal Sulawesi atau Nusa Tenggara Timur. Artinya virus itu kemungkinan dibawa dari wilayah tersebut. Informasi itu diketahui dari kajian yang dilakukan bersama antara FKH dan FK Universitas Udayana. Akses pada spesimen hewan tidak diperoleh.

Partisipasi dan pengetahuan masyarakat kurang memadai. Lingkup vaksinasi hanya mencapai 40%. Untuk aman, jumlah anjing yang divaksinasi harus diatas 80%.

Satu-satunya program yang intensif yang dilakukan adalah eliminasi. Ribuan anjing liar atau yang diliarkan telah dibunuh di daerah tertular. Masalah dalam eliminasi adalah tidak dilakukan dengan massal dan serentak, serta masih adanya suara-suara penentang prosedur itu.

Dana yang disediakan amat minim. Sudah minim, penggunaannya tumpang tindih pula. Dana yang tersedia di lembaga pemerintah, seperti pemda Bali, Pemda Kabupaten Badung/Kota Denpasar, dan Badan Karantina Pertanian bahkan dialokasikan untuk hal yang sama, seperti sosialisasi, pembuatan brosur, spanduk, dan lain sebagainya. Dana untuk operasional sangat tidak memadai.

Massal dan serentak

Secara teknis, rabies mudah diatasi. Hewan pembawanya jelas, yaitu anjing. Akan tetapi, untuk berhasil  semua prosedur baku harus dilaksanakan serentak dan massal. Pengetahuan, partisipasi, dan perilaku  masyarakat adalah kunci keberhasilan. Untuk itu diperlukan tenaga sukarelawan yang banyak. Bali punya itu. Sumber tenaga adalah Universitas Udayana, Persatuan Dokter Hewan Indonesia Cabang Bali, Dinas  Peternakan se-Bali, Pecalang di desa-desa, dan sumber lain. Logistik jug harus memadai.

Untuk melakukan itu, dana yang diperlukan cukup besar. Mobilisasi 1000 orang relawan untuk 30 hari operasi, dengan transport dan konsumsi Rp. 100.000 per hari, akan memerlukan 3 milyar rupiah. Mobilisasi gratisan, meyadnya, bisa dilakukan dalam 1-2 hari saja. Lebih dari itu mustahil, apalagi jaraknya jauh. Jika ditambah dengan penyediaan vaksin yang bagus, peneng anjing, sosialisasi, pendirian dan penjagaan check point, penguburan bangkai anjing, penyediaan VAR dan SAR, serta surveilans, dana yang diperlukan dapat mendekati Rp. 10 M. Harga ini dapat cukup kecil jika dibandingkan dengan dampak rabies yang kian meluas.

Komitmen dan kemauan politis Pemerintah Bali dan Kabupaten dan kota untuk menangani rabies menjadi kunci keberhasilan. Dana sebesar itu tak akan dapat disediakan pihak lain. Jika birokrasi menjadi hambatan, pemda dapat membentuk tim yang profesional untuk pemberantasan rabies.

Bali bisa memberantas rabies, kalau masyarakatnya mau!

Penulis: Ahli dan Guru Besar Virologi pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, email:
gnmahardika@indosat.net.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar