Sabtu, 22 Mei 2010

Rabies, Luka Indonesia yang Tak Kunjung Sembuh

KOMPAS, 23 Oktober 2003

Oleh: Soeharsono

September lalu, Kompas dua kali memuat berita tentang rabies (penyakit anjing gila) yang merajalela di Ambon sejak awal Agustus 2003. Sampai Kamis 25 September 2003, tercatat korban meninggal 12 orang dan sekitar 500 orang digigit anjing tersangka rabies. Karena keterbatasan jumlah vaksin rabies untuk manusia, Pimpinan WHO Perwakilan Maluku mengirim surat ke Kantor Regional WHO di Bombay untuk mendapatkan bantuan vaksin rabies bagi penderita gigitan anjing.

Sebelumnya, Kompas 22 Agustus 2003 mengungkapkan peningkatan kasus rabies pada manusia di Ngada, Flores, dengan jumlah kematian 56 orang dan korban gigitan anjing 1.915 dalam kurun 2000-2003. Pada tahun 2000 dari Palangkaraya juga dilaporkan 17 orang meninggal dunia karena rabies dalam tempo delapan bulan.

Diperkirakan, rabies masih akan mengancam Ambon dalam jangka lama apabila tidak dilakukan tindakan drastis memutus siklus rabies. Rabies juga menjadi ancaman bagi pulau-pulau sekitar Ambon, bahkan mungkin Provinsi Papua, apabila tidak diantisipasi secara memadai, terutama dalam hal pengawasan lalu lintas anjing, kucing, dan kera.

Rabies sangat ditakuti di seluruh dunia, terutama karena orang yang terkena sebelum meninggal akan sangat menderita. Mereka akan merasa sakit berkepanjangan, mencakar tubuh sendiri, diikat di tempat tidur, ditaruh di tempat gelap karena fotofobi, dan tidak dapat disembuhkan.

Tahun 1960, Prof AA Ressang, mantan guru besar Kesehatan Masyarakat Veteriner UI (sekarang IPB), mengungkapkan bahwa rabies adalah "the Incurable Indonesian Wound" (luka Indonesia yang tidak kunjung sembuh) dalam jurnal Com.Vet 4:1. Ungkapan di atas ternyata masih berlaku setelah 40 tahun.

Dalam 10 tahun terakhir, kasus rabies berhasil diredam di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Namun, rabies masih menyebar di Indonesia bagian Timur.

Pemberantasan rabies memang tidak mudah dan tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek karena tidak hanya melibatkan aparat pemerintah, tetapi harus juga masyarakat luas, perlu pemahaman ekologi rabies di daerah, memanfaatkan teknologi yang berkembang, serta dana cukup.

Sejarah

Rabies telah dikenal di Babilonia sejak zaman Raja Hammurabi (2300 SM), bahkan ada denda 40 shekel terhadap pemilik anjing apabila anjingnya menggigit seseorang.

Inggris pernah tertular rabies sejak tahun 1026. Di samping anjing dan kucing, rabies juga menulari hewan liar rubah (redfox). Berbagai peraturan pernah diberlakukan negeri ini, antara lain Metropolitan Streets Act (1867), Rabies Order (1887), kemudian Act of Parliement (1897).

Pemberantasan rabies di Inggris dilakukan dengan: (1) pembunuhan anjing geladak, (2) penggunaan penutup moncong bagi anjing yang keluar rumah, (3) pengurangan populasi rubah, dan (4) pengawasan ketat terhadap lalu lintas anjing dan kucing. Masa karantina enam bulan diterapkan terhadap anjing dan kucing yang akan masuk Inggris. Inggris bebas rabies tahun 1903.

Di Indonesia, rabies diduga telah lama ada, namun laporan resmi ditulis pertama kali oleh Penning di Jawa Barat, tahun 1889. Peraturan tentang rabies telah ada sejak tahun 1926 (Hondsdolsheid Ordonansi Nomor 451 dan 452), diikuti oleh Staatsblad 1928 Nomor 180, SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan Dalam Negeri) tahun 1978, dan Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian (1982).

Sebelum Perang Dunia II, selain Jawa Barat rabies hanya ditemukan di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Pada 1945-1980,rabies ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan Kalimantan Tengah (1978). Hingga 1990-an, provinsi di Indonesia yang masih bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, dan Papua.

Pemerintah Indonesia telah berupaya keras mengatasi rabies dengan mengadopsi cara-cara dari luar negeri, namun masih banyak kendala yang dihadapi.

Kesadaran masyarakat

Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dalam Seminar Nasional Rabies di Denpasar 1984 memaparkan, kendala terbesar menanggulangi rabies adalah kurangnya kesadaran masyarakat, baik di pedesaan maupun kota besar. Sebagai bukti, meskipun larangan memasukkan anjing, kucing, dan kera dari daerah tertular ke daerah bebas telah ada sejak 1926, masih saja orang membawa hewan dengan alasan sangat menyayangi atau untuk bisnis.

Keunikan rabies adalah masa inkubasi penyakit ini cukup lama, dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Akibatnya, seseorang bisa saja membawa anjing yang dikira sehat-padahal sudah ada virus rabies dalam tubuhnya- dari daerah tertular rabies ke daerah yang masih bebas. Dengan pola inilah rabies menyebar dari satu provinsi ke provinsi lain.

Tindakan hukum bagi pelanggar peraturan lalu lintas hewan tidak pernah membuat jera sehingga penyelundupan hewan, terutama anjing, masih berlangsung sampai sekarang.

Eliminasi

Salah satu tindakan yang akan dilakukan Pemerintah Kota Ambon adalah eliminasi (membunuh) anjing dan kucing yang berkeliaran atau dianggap tidak bertuan. Tidak dijelaskan secara rinci cara eliminasi yang akan dilakukan. Tindakan ini perlu disosialisasikan lebih dahulu agar tidak menimbulkan reaksi berlebihan dari masyarakat, mengingat nilai anjing dalam sosial budaya masyarakat setempat.

Cara eliminasi yang ideal adalah eutanasia atau "menidurkan" hewan selamanya tanpa rasa sakit. Namun, kendalanya adalah mahal dan harus disuntikkan ke pembuluh darah (intravena) atau langsung ke jantung (intracardial).

Eliminasi anjing jalanan dengan cara menembak (bekerja sama dengan tentara atau polisi) pernah dilakukan di Bali tahun 1970-an. Meskipun cara ini relatif murah dan cepat, pelaksanaannya harus hati-hati. Penembakan anjing di Bali, misalnya, dihentikan karena ada peluru meleset yang mencederai orang.

Pemberian racun bahan kimia, antara lain dnegan strichnin, dulu pernah dilakukan. Cara ini relatif murah, namun anjing akan kejang-kejang sebelum mati sehingga menyakitkan hati pemilik anjing.

Apa pun cara eliminasi yang dipilih harus dapat diterima masyarakat, berjalan cepat dan murah, sehingga rantai penularan rabies segera diputus.

Karena populasi anjing dan kucing jalanan dapat berkembang pesat, diperlukan pengendalian populasi lewat kastrasi hewan jantan atau ovariohysterectomy hewan betina. Cara ini telah dilakukan di Bali, bekerja sama dengan lembaga pengayom satwa.

Vaksinasi

Wali Kota Ambon baru-baru ini mengeluhkan kurangnya jumlah vaksin rabies untuk hewan dan vaksinator (petugas yang menyuntikkan vaksin). Seandainya jumlah vaksin dan vaksinator cukup, masalah lain yang dihadapi adalah cara memberikan vaksin tersebut. Anjing jinak yang diikat pemiliknya mungkin dapat divaksin, namun anjing jalanan tidak akan terjangkau karena ditangkap saja sulit.

Yang juga sering dilupakan adalah para vaksinator di garis depan. Mereka perlu mendapatkan vaksinasi rabies untuk manusia agar terlindungi apabila secara tidak sengaja tergigit anjing tersangka rabies.

Indonesia tampaknya perlu belajar dari keberhasilan Perancis membebaskan diri dari sylvatic rabies melalui pemberian vaksin per os (lewat mulut) menggunakan modified live vaccine galur SAG2. Vaksin rabies per os dengan teknologi rekombinan DNA juga telah mendapat lisensi di Amerika.

Jadi, membebaskan Indonesia dari rabies bukan hal yang tidak mungkin, asalkan ada dukungan dari masyarakat, dalam hal ketaatan memenuhi aturan, kesediaan berkorban bila anjing atau kucingnya terpaksa dieliminasi, dan juga bantuan dana.

Drh Soeharsono DTVS PhD Praktisi Hewan Kecil di Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar