Minggu, 23 Mei 2010

Memberantas Rabies

KOMPASIANA, 2 Februari 2010

Oleh: Syafrison Idris

Rabies merupakan satu di antara zoonosis penting di Indonesia. Arti penting penyakit ini tidak saja dampak kematian manusia yang ditimbulkannya tetapi juga dampak psikologis (kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan, ketidaknyamanan) pada orang-orang yang terpapar serta kerugian ekonomi pada daerah yang tertular seperti biaya penyidikan, pengendalian yang harus dibelanjakan pemerintah serta pendapatan negara dan masyarakat yang hilang akibat pembatalan kunjungan wisatawan.

Rabies pertama kali dilaporkan di Indonesia oleh Schoorl (1884) di Jakarta pada seekor kuda, kemudian oleh JW Esser (1889) di Bekasi pada seekor kerbau. Setelah Penning (1890) menemukan rabies pada anjing, rabies ini menjadi penyakit yang popular di Indonesia (Hindia Belanda saat itu). Rabies pada manusia dilaporkan lebih belakangan yaitu oleh de Haan pada tahun 1894. Campur tangan (intervensi) pemerintah terhadap pengendalian rabies secara formal telah dilakukan sejak era 1920-an, terbukti dengan penetapan ordonansi rabies - Hondsdolheids Ordonantie (Staatsblad 1926 No.451 yo Staatblad 1926 No. 452) oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dalam sejarah pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia, walaupun ada wilayah yang berhasil dibebaskan, namun Indonesia tidak berhasil menghentikan perluasan daerah tertular rabies di Indonesia. Daerah tertular rabies yang semula hanya beberapa provinsi saja sebelum Perang Dunia II, telah meluas ke daerah lain yang semula bebas yaitu: Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara dan Sulawesi Utara (1956), Sulawesi Selatan (1958), Sumatera Selatan (1959), Lampung (1969), Aceh (1970), Jambi dan DI Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tengah (1972), Kalimantan Timur (1974) dan Riau (1975).

Pada dekade 1990an dan 2000an Rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular yaitu Pulau Flores (1998) Pulau Ambon dan Pulau Seram (2003), Halmahera dan Morotai (2005) Ketapang (2005) serta Pulau Buru (2006) kemudian Pulau Bali, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di Provinsi Riau (2009). Saat ini provinsi yang bebas rabies Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat.

Ada sedikit kisah sukses pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia, yaitu pulau Jawa berhasil dibebaskan dari Rabies pada tahun 2004 setelah sebelumnya Pulau Jawa bagian tengah dan timur meliputi Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur dibebaskan terlebih dahulu pada tahun 1996. Walaupun kemudian penyakit ini muncul lagi (reoccurrence) di Garut (2005, 2007) dan Tasikmalaya (2006) Provinsi Jawa Barat serta Lebak (2008) Provinsi Banten. Kisah sukses lainnya adalah keberhasilan membatasi outbreak rabies di Provinsi Kalimantan Barat (2005) menjadi hanya outbreak tunggal.

Kematian karena rabies pada manusia (lyssa) pada tahun 2005 sebanyak 134 orang. Bila dibandingkan dengan situasi rabies pada tahun 2004 terjadi peningkatan lyssa yang cukup signifikan (tahun 2004 lyssa 109 orang). Hal ini menandakan bahwa upaya-upaya yang telah dilaksanakan masih belum optimal, terbukti jumlah kematian akibat rabies masih dilaporkan.

MASALAH DAN TANTANGAN

Lemahnya Otoritas Kesehatan hewan

Rabies merupakan zoonosis yang bersumber pada hewan. Pengendalian rabies pada sumbernya (hewan) merupakan suatu keniscayaan. Namun demikian otoritas kesehatan hewan di Indonesia tidak memadai untuk melaksanakannya.

Hambatan sosial budaya

Anjing memiliki nilai sosial budaya bahkan ekonomis bagi masyarakat Indonesia seperti berburu babi pada masyarakat Sumatera Barat, adu bagong bagi masyarakat Sunda, membawa anjing untuk keselamatan pada pelayaran tradisional bagi masyarakat Bugis, belis (mas kawin) bagi masyarakat Flores serta konsumsi daging anjing bagi masyarakat tertentu di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur.

Anjing diperjual belikan sehingga memiliki nilai ekonomi, pada kondisi seperti ini, eliminasi sulit dilakukan karena ada penolakan, dan dari berbagai kejadian seperti di Flores anjing disembunyikan di perkebunan atau hutan, justru membantu menyebarkan rabies.

Ketidakcukupan pendanaan

WHO telah melakukan penelitian pada kurun 1980an dan 1990an di beberapa negara dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda (Tunisia, Sri Lanka, Ekuador, Maroko, Nepal, Zambia, Turki). Walaupun karakteristik populasi antar negara dan bahkan di dalam setiap negara sangat bervariasi, penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kejadian rabies di negara-negara Asia dan Afrika sangat tinggi dan masalahnya menjadi lebih sulit karena kurangnya infrastruktur dan biaya untuk pengendalian rabies.

USULAN PENGENDALIAN

WHO Expert Consultation on Rabies (Geneva, 2005) merekomendasikan upaya pengendalian dan pemberantasan rabies, yaitu surveilans epidemiologi, gerakan vaksinasi (parenteral) massal pada anjing dan vaksinasi oral pada anjing sebagai pelengkap, manajemen populasi anjing serta kerjasama nasional dan internasional.

Manajemen populasi anjing (humane dog population control)

Manajemen populasi anjing merupakan konsep yang agak baru melibatkan beberapa pendekatan meliputi pembatasan lalu lintas, eliminasi, pengendalian reproduksi, serta pengendalian habitat. Pendekatan ini berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia dengan mengintegrasikan kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.

Pengendalian reproduksi jauh lebih kompleks dan hanya diterapkan di sejumlah kecil negara berkembang seperti India dan Thailand. Pengendalian reproduksi telah menjadi bagian integral dari pengendalian rabies di Thailand di mana eliminasi anjing tidak dapat diterima oleh masyarakat dan pemerintah negara itu karena alas sosial-budaya setempat. Lebih dari 660.000 induk anjing mendapatkan injeksi hormonal dan 55.000 disterilisasi dengan pembedahan pada tahun 1996. Namun demikian program tersebut tidak dilakukan dalam waktu lama sehingga sulit untuk diukur efektifitasnya (Meslin, 2000). Pengendalian reproduksi telah diterapkan di Indonesia secara sukarela dalam pelayanan kedokteran hewan mandiri. Tidak ada laporan resmi tentang jumlah anjing yang disterilisasi, kemungkinan dalam jumlah yang sangat kecil. Pengendalian reproduksi pada populasi secara lebih terstruktur telah pula dilakukan oleh Yayasan Bali Swarga dengan pembiayaan tergantung pada donasi penyayang binatang terutama dari organisasi serupa yang berbasis di luar negeri. Walau bagaimanapun juga pengendalian reproduksi secara teori dapat diterapkan, oleh karena itu perlu terus dikembangkan di Indonesia.

Untuk negara berkembang seperti di Indonesia, culling/peniadaan anjing liar (dan diliarkan) masih tetap dibutuhkan mengingat pengendalian reproduksi memerlukan biaya cukup mahal. Namun demikian eliminasi harus dilakukan dengan metode yang memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. Di USA M44 (sodium cyanide ejector) adalah satu-satunya kemikalia untuk etanasia vector mamalia yang saat ini diizinkan.

Gerakan vaksinasi masal, vaksin peroral sebagai pelengkap

Kompleksitas rabies di Eropa disebabkan oleh keberadaan rabies di hewan liar. Namun demikian situasi Rabies di Eropa mengalami kemajuan berkat penggunaan oral vaksin. Walaupun rabies di Indonesia melibatkan hewan domestik terutama anjing, namun proporsi anjing liar dan diliarkan sangat besar. Sementara itu, penurunan populasi anjing mendapatkan penolakan dari masyarakat karena anjing memiliki nilai social budaya dan ekonomi bagi masyarakat. Pada daerah-daerah demikian, program vaksinasi harus menjadi perhatian utama. Rendahnya cakupan vaksinasi karena kesulitan menangkap anjing liar dan diliarkan dapat di antisipasi dengan metode vaksinasi oral.

Peraturan perundangan

Diperlukan perangkat perundangan untuk menjamin kepatuhan masyarakat terhadap strategi dan kebijakan yang digariskan oleh Pemerintah. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah kabupaten/ kota perlu didorong untuk menerbitkan Peraturan Daerah tentang penertiban pemeliharaan HPR, registrasi anjing serta kewajiban pemilik terutama berkaitan dengan pencegahan dan pengendalian rabies.

Kerjasama lintas sektoral

Rabies merupakan problem kesehatan masyarakat yang bersumber dari hewan (terutama anjing). Sehingga penanganannya melibatkan otoritas kesehatan masyarakat dan otoritas kehewanan (vetriner). Sementara itu pengendalian pemeliharaan hewan piara ditengah masyarakat merupakan urusan pengaturan ketertiban umum. Koordinasi, dan harmonisasi program sangat penting untuk keberhasilan program pengendalian Rabies. Peran serta masyarakat madani (civil society) juga amat penting, sehingga perlu terus didorong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar