Minggu, 23 Mei 2010

Rabies di Flores, akankah berakhir?

Genetika21′s Weblog - Blog angkatan 34 (1997) Fakultas Kedokteran Hewan – Institut Pertanian Bogor

Oleh:: Ewaldus Wera

Dalam sebelas tahun terakhir (1997-2008) jumlah korban tewas akibat gigitan anjing rabis di Pulau Flores dan Lembata mencapai 163 orang. Sedangkan total gigitan mencapai 15.422 kasus. Korban tewas terbanyak berasal dari Kabupaten Ngada (60 orang), disusul Flores Timur (32 orang), Sikka (19 orang), Manggarai (21 orang), Ende (3 orang), Lembata (5 orang) dan Manggarai Barat (5 orang) (Dinkes Propinsi NTT, 2008).

Dari data ini kita bisa melihat bahwa rabies di Flores sudah menyebar ke seluruh wilayah kabupaten di Flores. Kejadian ini juga mengisyaratkan pada kita bahwa rabies bukannya hilang dari Flores namun malah menyebar ke pulau lain, yaitu Lembata. Pulau Timor dan Sumba merupakan daerah terancam karena bukan tidak mungkin 10 atau 15 tahun lagi kedua pulau ini akan tertular jika pemerintah lemah dalam pengawasan lalu lintas hewan penular rabies, terutama anjing, kucing dan kera.

Masih segar dalam ingatan kita ketika awal tahun 1998 pertama kali diketahui adanya rabies di Kota Larantuka, Flores Timur, masyarakat Flores umumnya masih berharap agar masalah itu bisa diisolasi di Kabupaten Flores Timur saja. Tetapi itu adalah harapan kosong, kenyataannya lain, rabies telah menyebar di seluruh Pulau Flores bahkan menyebar keluar pulau itu yaitu ke pulau lain di sekitar Flores, seperti Lembata, Adonara, dan Solor yang telah tertular penyakit yang mematikan ini. Bahkan tidak tertutup kemungkinan Pulau Sumba dan Timor yang berdekatan dengan Flores terancam tertular penyakit yang dikenal zoonosis nomor satu di Indonesia ini.

Kasus penggigitan anjing tersangka rabies pertama kali dilaporkan di Kota Larantuka pada bulan November 1997. Dari Kota Larantuka, penyakit rabies menyebar ke pulau lain, yakni Pulau Solor dan Adonara. Sampai dengan Juli 2002 rabies telah menyebar dari Kabupaten Flores Timur ke kabupaten lainnya di daratan Flores seperti Kabupaten Sikka (1998), Ende (1999), Bajawa (Juni 2000), dan Manggarai (Juli 2000).

Cepatnya penyebaran wabah rabies di Flores sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya masyarakat setempat. Misalkan saja, perdagangan anjing untuk dikonsumsi telah begitu mendarah daging dalam masyarakat Flores umumnya. Banyaknya populasi anjing di Flores ditunjang pula dengan tingginya frekuensi lalu lintas hewan penyebar tersebut ke atau dari berbagai daerah, merupakan ancaman terjadinya bawah (out break) dan penyebaran penyakit rabies. Kurang tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan vaksinasi, eliminasi dan pengambilan spesimen. Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memberantas penyakit rabies. Keterbatasan dana operasional, sarana dan perlengkapan stasiun check point yang belum memadai.

Sosial budaya

Di Pulau Flores hampir semua rumah tangga memiliki anjing. Bagi masyarakat Flores umumnya anjing digunakan untuk menjaga rumah, menjaga kebun dari serangan binatang liar seperti kera, babi hutan, musang dan tikus. Anjing mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena disamping sebagai penjaga rumah dan kebun, anjing juga dijadikan santapan yang lezat di restoran dan warung-warung setempat. Anjing bagi masyarakat Flores juga digunakan sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dan sebagai lauk pauk yang khas pada upacara memasuki rumah yang baru.

Ada sebagian masyarakat yang mengaku memiliki anjing, tetapi tidak dipelihara dengan baik. Satu hal yang sering terabaikan dari kelompok anjing berpemilik tetapi tidak terpelihara dengan baik adalah masalah reproduksinya yang cukup tinggi karena memiliki dua sumber makanan, dari tuannya dan dari sisa makanan di tempat sampah. Reproduksinya terjadi secara alami, tanpa hambatan atau dikendalikan pemilik. Akoso (2000)menyatakan bahwa banyak anjing liar di Flores yang disebabkan karena kehilangan pemiliknya akibat terjadi bencana banjir tahun 1979 dan gelombang tsunami 1992.

Dalam pelaksanaan vaksinasi dan eliminasi banyak tantangan yang dihadapi petugas. Banyak masyarakat yang tidak mau anjingnya divaksinasi atau dibunuh secara massal (eliminasi). Banyak di antara mereka yang menyimpan atau menyembunyikan anjingnya di rumah atau di kebun dan bahkan ada yang membawa ke desa, kecamatan atau pulau lain. Hal ini memungkinkan meluasnya wabah rabies di Flores. Ini buktikan dengan masuknya rabies ke pulau-pulau lain di Kabupaten Flores Timur, seperti Pulau Adonara, Solor dan Lembata. Hal ini diduga kuat adanya pemasukan anjing dalam masa inkubasi dari Kota Larantuka dalam rangka menghindari eliminasi massal yang dilaksanakan di daratan Flores Timur tahun 1998. Kesuksesan vaksinasi dan eliminasi terhambat karena adanya sebagian masyarakat pada desa-desa tertentu di Flores yang mempercayai akan nilai-nilai mistik bahwa anjing dianggap sebagai "leluhur" sehingga tidak bisa dibunuh secara massal.

Kondisi infrastruktur kesehatan hewan di Pulau Flores secara keseluruhan sangat minim. Kondisi ini terlihat dengan jelas pada keterbatasan jumlah petugas operasional. Belum lagi keterbatasan dana untuk pembelian vaksin dan jumlah jarum suntik karena tingginya biaya operasional. Dana lebih banyak dialokasikan untuk biaya operasional seperti pembentukan tim penanggulangan, rapat evaluasi dan biaya transportasi karena tidak adanya kendaraan roda empat untuk operasional, kalaupun ada kendaraan roda dua itu pun dalam jumlah terbatas.

Hal ini masih dibarengi dengan keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dan persediaan peralatan laboratorium yang minim yang membuat diagnosa rabies harus menunggu dalam waktu yang lama karena pemeriksaan terhadap spesimen hewan tersangka rabies harus dibawa ke Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Maros, Makassar yang memakan waktu dua hari menggunakan kapal laut. Belum lagi kalau pengemasan spesimen yang tidak sesuai prosedur yang membuat spesimen tidak segar lagi. Juga permasalahan yang ada di lapangan, yaitu sulitnya menemukan spesimen yang utuh dari hewan tersangka rabies karena masyarakat umumnya langsung membunuh anjing yang menggigit manusia dan dibuang ke got atau selokan dan bahkan dikonsumsi.

Selain itu kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam rangka pemberantasan rabies masih sangat kurang. Bahkan ada sebagian tokoh masyarakat dan aparat pemerintah yang belum rela anjingnya divaksinasi atau dieliminasi. Pengawasan lalu lintas hewan peka rabies baik melalui darat maupun laut belum sepenuhnya berjalan dengan baik, yang walaupun di beberapa tempat telah ada check point. Keterbatasan dana operasional dan tenaga serta panjangnya garis pantai dan adanya tempat-tempat yang tidak dapat diawasi sepenuhnya, menyebabkan pengawasan agak sulit dilakukan.

Estimasi menurut FAO (Food and Agriculture Organization) yaitu perbandingan jumlah anjing dengan jumlah penduduk yang ideal adalah 1:16. Artinya setiap 16 penduduk terdapat satu ekor anjing. Perbandingan ini sangat berbeda dengan keadaan di Flores dimana jumlah anjing mencapai kurang lebih 618.560 ekor atau 1:3 dibanding jumlah penduduk (1,8 juta jiwa), maka kepadatan jumlah anjing yang berlebihan di pulau yang dikenal dengan sebutan nusa bunga itu merupakan keadaan yang rawan (Wera, 2001). Hal ini tentunya akan mengancam keberadaan pariwisata di Pulau Flores yang terkenal dengan danau tiga warnanya.

Dalam rangka menekan kasus rabies dan peningkatan pariwisata di Pulau Flores, maka dalam rangka otonomi daerah, pemerintah daerah harus mampu membebaskan Pulau Flores dari kasus rabies. Untuk pemberantasan tersebut sangat diperlukan pemahaman epidemiologi dari penyakit rabies sehingga cara penanggulangannya dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien. Penanggulangan dengan cara eliminasi hewan rentan tidak akan cepat menyelesaikan masalah rabies di Flores, sebaliknya akan mempercepat perluasan penyebaran rabies ke daerah lain yang belum tertular penyakit yang mematikan tersebut.

Dengan berbagai permasalahan di atas, terutama mengenai kondisi infrastruktur kesehatan hewan yang serba minim, kurangnya kesadaran masyarakat dan padatnya populasi, maka timbul pertanyaan, rabies di Flores, akankah berakhir? Pertanyaan ini tentunya untuk menggugah hati para penggambil kebijakan dalam hal ini pemerintah daerah di bawah pengawasan pemerintah pusat untuk terus berupaya memberantas penyakit yang mematikan ini.

Kita menyadari bahwa ini bukan suatu kerja yang mudah, tidak segampang membalik telapak tangan, namun membutuhkan keuletan dari semua pihak, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan, baik teknis, sosial, ekonomi, politis, dan mempunyai konsekuensi mengubah pola pikir sektoral menuju keterpaduan yang harus melibatkan berbagai kelembagaan dan departemen.

*) Penulis adalah Mahasiswa Program Master Veterinary Epidemiology and Economics - Faculty of Veterinary Medicine – Utrecht University - The Netherlands (Staf Pengajar program Studi Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar